Bus yang kutunggu tunggu akhirnya
datang juga, tanpa berhenti sama sekali, Bus itu menurunkan dan menaikkan penumpang.
Aku meloncat naik sebelum Bus ke arah Malang itu melaju lebih cepat. Tempat
dimana aku meloncat ke Bus itu memang bukan Halte, dan memang tidak ada Halte
disana, jadi Bus bisa menurunkan dan menaikkan penumpang se enaknya. Kejadian
seperti ini adalah biasa, karena Bus ini tak mau di dahului oleh Bus yang di
belakang, Time is money.
Sopir Bus memandang kedepan dengan
tenang sambil menghisap rokok, seakan tak tahu ada penumpang yang turun dan
naik, sekali-kali melihat kaca spion diatas, untuk memastikan Bus yang
dibelakang masih jauh. Penumpang sudah penuh sesak, jadi aku tak bisa masuk
lebih dalam, jangankan duduk berdiri-pun aku sulit. Terpaksa aku
berdekat-dekatan dan berhimpit-himpitan bersama penumpang lain dengan mesrah. Asap
knalpot yang masuk kedalam Bus menambah semarak suasana.
Tak lama kemudian hujan datang dengan deras
mengguyur jalan, memaksa kenek menutup cendela dan pintu Bus, menghindari
penumpang basah terkena air hujan. Kondektur meliuk-liukan badannya melewati
sela-sela sempit penumpang, berhenti menarik karcis penumpang yang baru naik.
Udara dalam bus sudah mulai pengap, tapi sebagian besar penumpang masih asyik
merokok, dengan bibir yang dikuncupkan keatas meniup asap rokok. Atap Bus penuh
asap rokok mirip langit yang ber awan.
Posisiku berdiri menghadap kebelakang,
tidak memungkinkan aku menghadap kedepan karena dibelakangku ada ibu hamil tua yang
juga terpaksa menghadap kebelakang. Sedang didepanku bapak tua yang tinggi kurus
dan keriput, wajahnya lurus menghadap ke aku karena sudah tak bisa lagi menoleh
ketempat lain. Saking dekatnya sampai-sampai aku bisa menghitung jumlah bulu
hidung yang menjulur keluar dikedua lobang hidungnya. Tiga dilobang kanan,dua
dilobang kiri. Dia tersenyum setiap matanya bertemu mataku, sambil selalu
bertanya “Mau kemana?”
Suasana menegangkan ini sedikit terpecahkan
dengan kehadiran Pengamen Bus, yang akhirnya bisa menyanyi ketika beberapa
penumpang turun bersamaan. Hujan agak reda ketika Pengamen Bus mulai memetik
gitar. Mereka bertiga mulai bernyanyi disaat posisi berdiri sudah bisa dilihat
dan didengar oleh semua penumpang. Biasanya beberapa Pengamen Bus sudah cukup
bagus dalam menyanyikan lagu, aku berharap kali ini mereka bisa benar-benar menghibur.
Dari cara mereka saling memandang dan tertawa satu sama lain membenarkan
dugaanku, ternyata benar mereka bukan penyanyi berbakat.
Pilihan lagu dan suara serta cara
memainkan gitar, juga entah senar gitar apa yang dipakai, kembali memekakkan
telinga, mengaburkan pandangan dan mengingatkan aku lagi pada lobang hidung pak
tua tadi. Suasana menjadi lebih tidak enak ketimbang pengapnya Bus tadi dengan
semua cendela ditutup karena hujan. Tak jelas buat telingaku, lagu itu seperti irama
keroncong, tapi berbau rock, tapi kok ada tabuhannya, tapi kok serak, tapi kok…..
pokoknya tidak enak!!! Untung mereka segera
mengakhiri album Lagu-lagu Bingung itu.
Dengan mengucapkan banyak-banyak terima
kasih atas segala perhatian semua penumpang, salah satu dari mereka
mengeluarkan kantong untuk menagih kesemua penumpang satu persatu sebagai ganti
kenikmatan dan hiburan yang mereka ciptakan.
Aku sedikit loncat kegirangan ketika turun dari Bus di terminal Malang, waktu yang hanya setengah jam itu rasanya seperti dua hari. Tapi ini pengalaman berharga buatku, aku harus hati-hati dan harus pula pilih-pilh jika naik Bus.
Wah tidak mengenakkan sekali. Jadikan pengalaman Mas.
BalasHapus