Suatu pagi aku pergi menemui seorang
teman yang tinggal di sebuah desa. Dengan mengendarai motor sendirian, kulalui jalan-jalan
sempit memotong sawah yang hijau dan subur, setelah jauh meninggalkan hiruk
pikuk ramainya kendaraan bermotor dikotaku menuju ke arah suasana pedesaan yang
sunyi dan tenang. Udara sejuk dan segar serta bersih dibawa oleh hembusan angin
yang turun dari atas gunung. Jalan tanah bebatuan yang banyak kubangan-kubangan
air bekas hujan. Walaupun saat ini masih musim hujan, tanah tampak agak kering, untung
kemarin rupanya tidak turun hujan sehingga jalan tanah ini tidak terlalu licin.
Aku berhenti sejenak, tak kuasa
menyia-nyiakan kesempatan emas untuk melihat
pemandangan yang sangat indah. Sawah hijau terbentang luas dikelilingi
oleh pegunungan. Seakan pegunungan itu menjaga dan mengayomi serta melindungi sawah itu
dari kerusakan. Langit dalam keadaan cerah tak berawan, pantulan cahaya
sinar Matahari semakin memperjelas lebatnya hutan pegunungan itu. Sekeliling
mata memandang hanya warna hijau yang mendominasi.
Beberapa petani sibuk bekerja disawah,
kesana kemari membungkuk membersihkan sawah dari tanaman liar lain dan mengatur
aliran air yang masuk dan keluar disela-sela pematang. Mereka bekerja berkelompok-kelompok,
tanpa banyak bicara asyik dengan pekerjaannya masing-masing, memanfaatkan
terangnya cuaca dan segarnya udara pagi. Yang laki-laki sekali-kali berdiri
lalu menghisap dan meniup asap rokok, yang dari tadi lengket dimulut.
Aku berteduh sambil asyik memperhatikan
petani yang sedang bekerja disawah. Hari semakin siang, walau dipegunungan
terik Matahari tetap semakin panas, tapi rupanya para petani lebih asyik
meneruskan pekerjaannya tanpa menghiraukan punggungnya yang semakin panas
terbakar Matahari. Harapan hasil panen yang memuaskan mendinginkan punggung mereka.
Dibagian petak sawah yang paling dekat
denganku, bapak petani merawat sawahnya ditemani oleh istri dan
anaknya, bocah laki-laki. Dengan cekatan Bapak Tani membersihkan tempat
jalannya aliran air yang masuk kesawahnya dari sumbatan-sumbatan agar menjadi
lancar, si Ibu Tani menimbun-nimbun pemantang yang rusak dengan tanah liat agar tidak
jebol karena iritasi, sedang si Anak Tani membersihkan bagian tengah sawah
dari rumput-rumput liar. Mereka giat
bekerja tanpa ada saling memerintah satu sama lain.
Sang Bapak berdiri melihatku lalu
tersenyum lebar dan menyapa. Suara desiran angin dedaunan dan pari menjadikan
tak jelas apa yang beliau katakan. Namun senyum lebar dan keramahan Bapak Tani
memaksaku menjawab sapaan nya “Selamat Pagi, Pak” dalam bahasa jawa.
Lalu bapak itu manggut-manggut tanda
mengerti maksudku, di ikuti oleh istri dan anaknya yang ikut berdiri dan
tersenyum lebar. Masing-masing tangan dan kaki mereka kotor oleh lumpur sawah.
Suasana sawah dan keramahan penghuninya
memberatkan aku untuk melanjutkan perjalanan. Kudekati keluarga ramah yang kaki
dan tangannya kotor itu. Tanpa bermaksud mengganggu, kucoba untuk berdialog
lebih banyak dengan mereka:
“Sudah berapa bulan usia Pari ini Pak?”
Kataku dengan bahasa Jawa, sambil tetap
meminta Pak Tani melanjutkan pekerjaannya.
Sambil tertawa dia menjawab “Tiga bulan nak, sampeyan dari
mana? Mari duduk disitu, kita sama-sama sarapan” Sambil menunjuk sebuah
pelataran kecil yang sudah tersedia beberapa rantang, piring, kendi dan wakul
tempat nasi. Hidangan sederhana yang memang sengaja disediakan untuk sarapan Keluarga
Tani itu.
Aku sempat bingung dengan keramahan
keluarga ini, tanpa perlu tahu siapa aku, dari mana asalku, mau kemana aku,
tanpa ragu-ragu mengajak aku makan bersama jatah sarapan mereka pagi ini. Desa
ternyata masih menyimpan manusia-manusia berhati bersih dan mulia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar