Rabu, 22 Februari 2012

Keluarga Tani


Suatu pagi aku pergi menemui seorang teman yang tinggal di sebuah desa. Dengan mengendarai motor sendirian, kulalui jalan-jalan sempit memotong sawah yang hijau dan subur, setelah jauh meninggalkan hiruk pikuk ramainya kendaraan bermotor dikotaku menuju ke arah suasana pedesaan yang sunyi dan tenang. Udara sejuk dan segar serta bersih dibawa oleh hembusan angin yang turun dari atas gunung. Jalan tanah bebatuan yang banyak kubangan-kubangan air bekas hujan. Walaupun saat ini masih musim hujan, tanah tampak agak kering, untung kemarin rupanya tidak turun hujan sehingga jalan tanah ini tidak terlalu licin.

Aku berhenti sejenak, tak kuasa menyia-nyiakan kesempatan emas untuk melihat  pemandangan yang sangat indah. Sawah hijau terbentang luas dikelilingi oleh pegunungan. Seakan pegunungan itu menjaga dan mengayomi serta melindungi sawah itu dari kerusakan. Langit dalam keadaan cerah tak berawan, pantulan cahaya sinar Matahari semakin memperjelas lebatnya hutan pegunungan itu. Sekeliling mata memandang hanya warna hijau yang mendominasi.

Beberapa petani sibuk bekerja disawah, kesana kemari membungkuk membersihkan sawah dari tanaman liar lain dan mengatur aliran air yang masuk dan keluar disela-sela pematang. Mereka bekerja berkelompok-kelompok, tanpa banyak bicara asyik dengan pekerjaannya masing-masing, memanfaatkan terangnya cuaca dan segarnya udara pagi. Yang laki-laki sekali-kali berdiri lalu menghisap dan meniup asap rokok, yang dari tadi lengket dimulut.

Aku berteduh sambil asyik memperhatikan petani yang sedang bekerja disawah. Hari semakin siang, walau dipegunungan terik Matahari tetap semakin panas, tapi rupanya para petani lebih asyik meneruskan pekerjaannya tanpa menghiraukan punggungnya yang semakin panas terbakar Matahari. Harapan hasil panen yang memuaskan mendinginkan punggung mereka.

Dibagian petak sawah yang paling dekat denganku, bapak petani merawat sawahnya ditemani oleh istri dan anaknya, bocah laki-laki. Dengan cekatan Bapak Tani membersihkan tempat jalannya aliran air yang masuk kesawahnya dari sumbatan-sumbatan agar menjadi lancar, si Ibu Tani menimbun-nimbun pemantang yang rusak dengan tanah liat agar tidak jebol karena iritasi, sedang si Anak Tani membersihkan bagian tengah sawah dari  rumput-rumput liar. Mereka giat bekerja tanpa ada saling memerintah satu sama lain.

Sang Bapak berdiri melihatku lalu tersenyum lebar dan menyapa. Suara desiran angin dedaunan dan pari menjadikan tak jelas apa yang beliau katakan. Namun senyum lebar dan keramahan Bapak Tani memaksaku menjawab sapaan nya “Selamat Pagi, Pak” dalam bahasa jawa.

Lalu bapak itu manggut-manggut tanda mengerti maksudku, di ikuti oleh istri dan anaknya yang ikut berdiri dan tersenyum lebar. Masing-masing tangan dan kaki mereka kotor oleh lumpur sawah.

Suasana sawah dan keramahan penghuninya memberatkan aku untuk melanjutkan perjalanan. Kudekati keluarga ramah yang kaki dan tangannya kotor itu. Tanpa bermaksud mengganggu, kucoba untuk berdialog lebih banyak dengan mereka:

“Sudah berapa bulan usia Pari ini Pak?”  Kataku dengan bahasa Jawa, sambil tetap meminta Pak Tani melanjutkan pekerjaannya.                         

Sambil tertawa  dia menjawab “Tiga bulan nak, sampeyan dari mana? Mari duduk disitu, kita sama-sama sarapan” Sambil menunjuk sebuah pelataran kecil yang sudah tersedia beberapa rantang, piring, kendi dan wakul tempat nasi. Hidangan sederhana yang memang sengaja disediakan untuk sarapan Keluarga Tani itu.

 Aku sempat bingung dengan keramahan keluarga ini, tanpa perlu tahu siapa aku, dari mana asalku, mau kemana aku, tanpa ragu-ragu mengajak aku makan bersama jatah sarapan mereka pagi ini. Desa ternyata masih menyimpan manusia-manusia berhati bersih dan mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar