Sabtu, 25 Februari 2012

Sakit Gigi


Sebenarnya, hari ini adalah hari yang sangat menyenangkan bagiku. Hampir semua teman, sahabat dan kerabatku kumpul jadi satu di acara perkawinan famili dekatku. Selain acara inti yang sangat meriah dan mengesankan, kesempatan berkumpul dengan orang-orang yang sangat lama sekali tidak bertemu, adalah sesuatu yang tidak bisa disia-siakan.

Suasana itu benar-benar membuat mulut ini tidak bisa ditutup karena terus-terusan tertawa terbahak-bahak. Wajah-wajah humoris dari temanku masing-masing menceriterakan pengalaman lucu mereka yang pernah terjadi selama berpisah.

Acara yang paling aku tunggu-tunggu selama hidupku ini tiba-tiba jadi hancur lebur gara-gara salah satu gigi ku sakit . Wajahku yang cerah karena tertawa terbahak-bahak dalam suatu kesempatan, kontan berhenti dan berganti meringis kesakitan karena gigi sial ini.

Rasanya aku seperti menggigit paku yang paling besar dan panjang, serta menembus otakku. Wajah-wajah teman dan kerabatku semua jadi berubah seperti hantu, tidak lucu sama sekali. 

Mereka sejenak heran dan bertanya padaku  “Kenapa?”

Setelah dengan susah payah aku jelaskan, mereka tertawa terpingkal-pingkal, rupanya aku yang sedang kesakitan ini dianggap sebagai bagian kejadian yang lucu.  Sialan!

Tidak tahan dengan rasa sakit ini, akhirnya aku putuskan untuk pulang. Dijalan aku coba bayangkan kerugian melewatkan kesempatan emas berkumpul dengan sahabat yang sangat kocak.

Siang hari yang cerah dan suasana kumpul bersama teman dan sahabat serta kerabat, terpaksa harus ditinggalkan dengan membawa pulang sakit gigi.
Jalan pulang yang aku lalui terasa jauh, meliuk-liuk seperti ular yang bergerak menjauh. Suara klakson kendaraan terdengar seakan-akan mobilnya ada didalam telingaku.

Sesampai dirumah kucoba menenangkan diri dengan istirahat dan tidur, tapi rasa sakit tidak tampak berkurang, bahkan semakin menjadi-jadi. Tidur ingin berdiri, berdiri ingin berjalan, berjalan ingin duduk, duduk ingin mandi, mandi ingin tidur. Jika aku memandang kedepan yang tampak adalah yang dibelakang.

Kubuka mulutku, kuperiksa barangkali ada Paku - Besar atau Mata - Bor yang menancap di gigiku. 

“Tidak ada”

Obat pereda rasa sakit gigi pertama sudah aku telan. Kutunggu beberapa saat, rupanya agak berkurang sedikit dan sebentar. Tapi untuk berikutnya sudah tidak ada ampun lagi, gigiku sudah tidak bisa diredakan dengan obat apapun.

Sore hari perutku terasa kenyang dengan beberapa obat yang telah aku telan. Berbagai merk obat gosok aku coba juga, sampai–sampai kulit pipiku tebal dan putih. Tak kalah ketinggalan berbagai macam doa dan bacaan-bacaan  atau mantra sudah aku lakukan. Karena kurang yakin maka istrikupun kusuruh mencoba membaca sampai beberapa kali. Rupanya tidak manjur juga.

Satu-satunya jalan adalah harus ke Dokter Gigi. Sore ini tidak ada dokter yang buka praktek, malam nanti sekitar jam 19.00 baru mulai ada yang praktek. Waktu Penantian sekitar empat jam inilah merupakan waktu yang sangat menyiksa. Seakan aku menunggu selama empat tahun.

Aku sudah berada di ruang tunggu satu setengah jam sebelum Dokter Gigi buka praktek, belum ada orang lain yang datang. Selama itu kepalaku terasa berat dan besar seperti di pompa sampai sebesar Drum. Ketika datang waktunya Dokterpun tiba. Karena tak sabar menunggu, kulihat  seakan-akan Dokter Gigi yang datang berjalan dari tempat parkir keruang praktek dengan cara Slow Motion .
 “ Cabut gigiku semua Dok !” Kataku

“Tenang, tenang. Yang mana yang sakit” Kata Dokter Gigi, sambil tersenyum. Kulihat giginya seperti Gigi Taring semua.

Seperti keluar dari medan perang, akhirnya aku pulang dari Dokter Gigi dengan perasaan lega. Rasa sakit sudah lenyap dan gigiku masih utuh semua. Alhamdulillah.

1 komentar:

  1. Penderitaan yang paling menyakitkan setelah kematian adalah Sakit Gigi.

    BalasHapus