Sebenarnya, hari ini adalah hari yang
sangat menyenangkan bagiku. Hampir semua teman, sahabat dan kerabatku kumpul
jadi satu di acara perkawinan famili dekatku. Selain acara inti yang sangat
meriah dan mengesankan, kesempatan berkumpul dengan orang-orang yang sangat
lama sekali tidak bertemu, adalah sesuatu yang tidak bisa disia-siakan.
Suasana itu benar-benar membuat mulut ini tidak
bisa ditutup karena terus-terusan tertawa terbahak-bahak. Wajah-wajah humoris
dari temanku masing-masing menceriterakan pengalaman lucu mereka yang pernah
terjadi selama berpisah.
Acara yang paling aku tunggu-tunggu
selama hidupku ini tiba-tiba jadi hancur lebur gara-gara salah satu gigi ku sakit
. Wajahku yang cerah karena tertawa terbahak-bahak dalam suatu kesempatan,
kontan berhenti dan berganti meringis kesakitan karena gigi sial ini.
Rasanya aku seperti menggigit paku yang
paling besar dan panjang, serta menembus otakku. Wajah-wajah teman dan
kerabatku semua jadi berubah seperti hantu, tidak lucu sama sekali.
Mereka sejenak heran dan bertanya padaku
“Kenapa?”
Setelah dengan susah payah aku
jelaskan, mereka tertawa terpingkal-pingkal, rupanya aku yang sedang kesakitan
ini dianggap sebagai bagian kejadian yang lucu.
Sialan!
Tidak tahan dengan rasa sakit ini,
akhirnya aku putuskan untuk pulang. Dijalan aku coba bayangkan kerugian
melewatkan kesempatan emas berkumpul dengan sahabat yang sangat kocak.
Siang hari yang cerah dan suasana
kumpul bersama teman dan sahabat serta kerabat, terpaksa harus ditinggalkan
dengan membawa pulang sakit gigi.
Jalan pulang yang aku lalui terasa
jauh, meliuk-liuk seperti ular yang bergerak menjauh. Suara klakson kendaraan terdengar
seakan-akan mobilnya ada didalam telingaku.
Sesampai dirumah kucoba menenangkan
diri dengan istirahat dan tidur, tapi rasa sakit tidak tampak berkurang, bahkan
semakin menjadi-jadi. Tidur ingin berdiri, berdiri ingin berjalan, berjalan
ingin duduk, duduk ingin mandi, mandi ingin tidur. Jika aku memandang kedepan
yang tampak adalah yang dibelakang.
Kubuka mulutku, kuperiksa barangkali ada
Paku - Besar atau Mata - Bor yang menancap di gigiku.
“Tidak ada”
Obat pereda rasa sakit gigi pertama
sudah aku telan. Kutunggu beberapa saat, rupanya agak berkurang sedikit dan
sebentar. Tapi untuk berikutnya sudah tidak ada ampun lagi, gigiku sudah tidak
bisa diredakan dengan obat apapun.
Sore hari perutku terasa kenyang dengan
beberapa obat yang telah aku telan. Berbagai merk obat gosok aku coba juga, sampai–sampai
kulit pipiku tebal dan putih. Tak kalah ketinggalan berbagai macam doa dan
bacaan-bacaan atau mantra sudah aku
lakukan. Karena kurang yakin maka istrikupun kusuruh mencoba membaca sampai
beberapa kali. Rupanya tidak manjur juga.
Satu-satunya jalan adalah harus ke
Dokter Gigi. Sore ini tidak ada dokter yang buka praktek, malam nanti sekitar
jam 19.00 baru mulai ada yang praktek. Waktu Penantian sekitar empat jam inilah
merupakan waktu yang sangat menyiksa. Seakan aku menunggu selama empat tahun.
Aku sudah berada di ruang tunggu satu setengah
jam sebelum Dokter Gigi buka praktek, belum ada orang lain yang datang. Selama
itu kepalaku terasa berat dan besar seperti di pompa sampai sebesar Drum.
Ketika datang waktunya Dokterpun tiba. Karena tak sabar menunggu, kulihat seakan-akan Dokter Gigi yang datang berjalan
dari tempat parkir keruang praktek dengan cara Slow Motion .
“
Cabut gigiku semua Dok !” Kataku
“Tenang, tenang. Yang mana yang sakit”
Kata Dokter Gigi, sambil tersenyum. Kulihat giginya seperti Gigi Taring
semua.
Seperti keluar dari medan perang,
akhirnya aku pulang dari Dokter Gigi dengan perasaan lega. Rasa sakit sudah
lenyap dan gigiku masih utuh semua. Alhamdulillah.
Penderitaan yang paling menyakitkan setelah kematian adalah Sakit Gigi.
BalasHapus