Selasa, 28 Februari 2012

Rindu dan Air Mata


Aku duduk di Kursi panjang pelataran bandara Juanda, menjemput teman yang datang dari Jakarta. Dua orang yang juga sedang menunggu kedatangan, duduk masing masing dikiri dan kananku.

Kulihat banyak orang lalu lalang, sibuk keluar masuk peron bandara menyurung barang dalam troli.

Petugas Pengangkutan Bandara mengangkat barang-barang bawaan lari kesana kemari menumpuk barang bawaan kedalam mobil, melayani penumpang yang baru turun dari pesawat terbang.

Seorang wanita muda berjalan perlahan-lahan sambil menyurung troli, tanpa tujuan pasti kesana-kemari seperti ada yang dicari, menolak Petugas Pengangkutan Bandara membantu mengangkatkan barangnya.

Dari penampilannya bisa diduga dia adalah gadis dusun yang jauh dari kota Surabaya. Melihat pakaian dan barang bawaannya sepertinya dia baru datang dari luar negeri. Aku baru mengerti ternyata gadis itu adalah TKW yang baru pulang dari Hongkong.

Tiba-tiba wajahnya berubah ceriah berseri-seri, bibirnya terbuka lebar tertawa tampak sangat bahagia. Dari kejauhan dua orang Bapak dan Ibu berlari menghampiri gadis itu yang meninggalkan barangnya menyambut kedatangan kedua orang tuanya.

Mereka berbenturan karena cepatnya lari, ketiganya berpelukan rapat-rapat, kedua orang tua berebut ingin lebih erat memeluk gadis itu, tak kuasa ingin menumpahkan perasaan rindu kepada anaknya dengan memeluk erat-erat.

Wajah mereka bercampur antara tertawa, menangis, rindu dan sakit karena pelukan erat. Aku berani bersumpah kalau mereka tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.

Tampak jelas sekali mereka tak bisa bicara, tawa dan tangis sudah menggambarkan isi hati dan ucapan mereka. Gadis itu menanyakan bagaimana kabar kesehatan Bapak dan Ibunya dengan air mata yang deras mengalir dan gigi yang tersembul karena tertawa.

Ibunya menjawab tanpa kata-kata sambil tetap tertawa dengan air mata, air ingus dan air liur yang tak kalah derasnya. Sang Bapak mengangguk-angguk sambil membetulkan songkoknya yang hampir jatuh, mengiyakan tanpa kata-kata dengan wajahnya yang basah oleh ketiga air itu juga.

Beberapa orang berlarian mendekati pertemuan pelukan tiga orang itu, menyerbu menyeruduk ikut ambil bagian dalam pelukan itu juga, sambil tertawa dan menangis.

Suasana pelampiasan rasa rindu berlangsung cukup lama. Akhirnya gadis itu bertanya “Mana Jumilah ?”

Kata-kata pertama yang terdengar setelah durasi Adegan Pelukan Tawa dan Air mata yang panjang, memecahkan suasana, menambah ketegangan.

Jumilah adalah adik kesayangan gadis itu. Seluruh keluarga sepertinya tahu  kedua gadis itu sangat saling mencintai dan rindu berat.

Dari kejauhan seorang gadis kecil berlari cepat menghampiri, tampak cipratan air keluar dari bagian kepalanya “Air Mata” karena gerakan lari.

“Jumilah…. ” 

Gadis itu berteriak, meloncat keluar meninggalkan kerumunan orang-orang yang barusan memeluknya. Mereka bertabrakan, berpelukan erat sekali, berciuman, berteriak histeris, menangis meraung-raung dengan air mata muncrat di kedua pasang mata mereka. Wajah mereka menempel lengket seakan ingin dijadikan satu.

Seluruh keluarganya memandang sambil menangis dengan gigi tetap tersembul tertawa. Memaklumi ketidak sanggupan kedua gadis bersaudara itu melepaskan rasa rindu.

Aku menoleh ke bapak disamping kananku, ternyata wajahnya basah oleh airmata. Begitu juga dengan orang disamping kiriku, dia menunduk menangis tak tahan melihat adegan yang mengharukan itu.

Aku semakin terkejut ternyata air mataku juga mengalir deras selama kejadian itu. Karena malu akhirnya aku meninggalkan tempat itu.

Semua yang melihat adegan yang sangat istimewa itu ikut menangis menikmati kebahagiaan  tulus dan murni.

Sabtu, 25 Februari 2012

Sakit Gigi


Sebenarnya, hari ini adalah hari yang sangat menyenangkan bagiku. Hampir semua teman, sahabat dan kerabatku kumpul jadi satu di acara perkawinan famili dekatku. Selain acara inti yang sangat meriah dan mengesankan, kesempatan berkumpul dengan orang-orang yang sangat lama sekali tidak bertemu, adalah sesuatu yang tidak bisa disia-siakan.

Suasana itu benar-benar membuat mulut ini tidak bisa ditutup karena terus-terusan tertawa terbahak-bahak. Wajah-wajah humoris dari temanku masing-masing menceriterakan pengalaman lucu mereka yang pernah terjadi selama berpisah.

Acara yang paling aku tunggu-tunggu selama hidupku ini tiba-tiba jadi hancur lebur gara-gara salah satu gigi ku sakit . Wajahku yang cerah karena tertawa terbahak-bahak dalam suatu kesempatan, kontan berhenti dan berganti meringis kesakitan karena gigi sial ini.

Rasanya aku seperti menggigit paku yang paling besar dan panjang, serta menembus otakku. Wajah-wajah teman dan kerabatku semua jadi berubah seperti hantu, tidak lucu sama sekali. 

Mereka sejenak heran dan bertanya padaku  “Kenapa?”

Setelah dengan susah payah aku jelaskan, mereka tertawa terpingkal-pingkal, rupanya aku yang sedang kesakitan ini dianggap sebagai bagian kejadian yang lucu.  Sialan!

Tidak tahan dengan rasa sakit ini, akhirnya aku putuskan untuk pulang. Dijalan aku coba bayangkan kerugian melewatkan kesempatan emas berkumpul dengan sahabat yang sangat kocak.

Siang hari yang cerah dan suasana kumpul bersama teman dan sahabat serta kerabat, terpaksa harus ditinggalkan dengan membawa pulang sakit gigi.
Jalan pulang yang aku lalui terasa jauh, meliuk-liuk seperti ular yang bergerak menjauh. Suara klakson kendaraan terdengar seakan-akan mobilnya ada didalam telingaku.

Sesampai dirumah kucoba menenangkan diri dengan istirahat dan tidur, tapi rasa sakit tidak tampak berkurang, bahkan semakin menjadi-jadi. Tidur ingin berdiri, berdiri ingin berjalan, berjalan ingin duduk, duduk ingin mandi, mandi ingin tidur. Jika aku memandang kedepan yang tampak adalah yang dibelakang.

Kubuka mulutku, kuperiksa barangkali ada Paku - Besar atau Mata - Bor yang menancap di gigiku. 

“Tidak ada”

Obat pereda rasa sakit gigi pertama sudah aku telan. Kutunggu beberapa saat, rupanya agak berkurang sedikit dan sebentar. Tapi untuk berikutnya sudah tidak ada ampun lagi, gigiku sudah tidak bisa diredakan dengan obat apapun.

Sore hari perutku terasa kenyang dengan beberapa obat yang telah aku telan. Berbagai merk obat gosok aku coba juga, sampai–sampai kulit pipiku tebal dan putih. Tak kalah ketinggalan berbagai macam doa dan bacaan-bacaan  atau mantra sudah aku lakukan. Karena kurang yakin maka istrikupun kusuruh mencoba membaca sampai beberapa kali. Rupanya tidak manjur juga.

Satu-satunya jalan adalah harus ke Dokter Gigi. Sore ini tidak ada dokter yang buka praktek, malam nanti sekitar jam 19.00 baru mulai ada yang praktek. Waktu Penantian sekitar empat jam inilah merupakan waktu yang sangat menyiksa. Seakan aku menunggu selama empat tahun.

Aku sudah berada di ruang tunggu satu setengah jam sebelum Dokter Gigi buka praktek, belum ada orang lain yang datang. Selama itu kepalaku terasa berat dan besar seperti di pompa sampai sebesar Drum. Ketika datang waktunya Dokterpun tiba. Karena tak sabar menunggu, kulihat  seakan-akan Dokter Gigi yang datang berjalan dari tempat parkir keruang praktek dengan cara Slow Motion .
 “ Cabut gigiku semua Dok !” Kataku

“Tenang, tenang. Yang mana yang sakit” Kata Dokter Gigi, sambil tersenyum. Kulihat giginya seperti Gigi Taring semua.

Seperti keluar dari medan perang, akhirnya aku pulang dari Dokter Gigi dengan perasaan lega. Rasa sakit sudah lenyap dan gigiku masih utuh semua. Alhamdulillah.

Rabu, 22 Februari 2012

Keluarga Tani


Suatu pagi aku pergi menemui seorang teman yang tinggal di sebuah desa. Dengan mengendarai motor sendirian, kulalui jalan-jalan sempit memotong sawah yang hijau dan subur, setelah jauh meninggalkan hiruk pikuk ramainya kendaraan bermotor dikotaku menuju ke arah suasana pedesaan yang sunyi dan tenang. Udara sejuk dan segar serta bersih dibawa oleh hembusan angin yang turun dari atas gunung. Jalan tanah bebatuan yang banyak kubangan-kubangan air bekas hujan. Walaupun saat ini masih musim hujan, tanah tampak agak kering, untung kemarin rupanya tidak turun hujan sehingga jalan tanah ini tidak terlalu licin.

Aku berhenti sejenak, tak kuasa menyia-nyiakan kesempatan emas untuk melihat  pemandangan yang sangat indah. Sawah hijau terbentang luas dikelilingi oleh pegunungan. Seakan pegunungan itu menjaga dan mengayomi serta melindungi sawah itu dari kerusakan. Langit dalam keadaan cerah tak berawan, pantulan cahaya sinar Matahari semakin memperjelas lebatnya hutan pegunungan itu. Sekeliling mata memandang hanya warna hijau yang mendominasi.

Beberapa petani sibuk bekerja disawah, kesana kemari membungkuk membersihkan sawah dari tanaman liar lain dan mengatur aliran air yang masuk dan keluar disela-sela pematang. Mereka bekerja berkelompok-kelompok, tanpa banyak bicara asyik dengan pekerjaannya masing-masing, memanfaatkan terangnya cuaca dan segarnya udara pagi. Yang laki-laki sekali-kali berdiri lalu menghisap dan meniup asap rokok, yang dari tadi lengket dimulut.

Aku berteduh sambil asyik memperhatikan petani yang sedang bekerja disawah. Hari semakin siang, walau dipegunungan terik Matahari tetap semakin panas, tapi rupanya para petani lebih asyik meneruskan pekerjaannya tanpa menghiraukan punggungnya yang semakin panas terbakar Matahari. Harapan hasil panen yang memuaskan mendinginkan punggung mereka.

Dibagian petak sawah yang paling dekat denganku, bapak petani merawat sawahnya ditemani oleh istri dan anaknya, bocah laki-laki. Dengan cekatan Bapak Tani membersihkan tempat jalannya aliran air yang masuk kesawahnya dari sumbatan-sumbatan agar menjadi lancar, si Ibu Tani menimbun-nimbun pemantang yang rusak dengan tanah liat agar tidak jebol karena iritasi, sedang si Anak Tani membersihkan bagian tengah sawah dari  rumput-rumput liar. Mereka giat bekerja tanpa ada saling memerintah satu sama lain.

Sang Bapak berdiri melihatku lalu tersenyum lebar dan menyapa. Suara desiran angin dedaunan dan pari menjadikan tak jelas apa yang beliau katakan. Namun senyum lebar dan keramahan Bapak Tani memaksaku menjawab sapaan nya “Selamat Pagi, Pak” dalam bahasa jawa.

Lalu bapak itu manggut-manggut tanda mengerti maksudku, di ikuti oleh istri dan anaknya yang ikut berdiri dan tersenyum lebar. Masing-masing tangan dan kaki mereka kotor oleh lumpur sawah.

Suasana sawah dan keramahan penghuninya memberatkan aku untuk melanjutkan perjalanan. Kudekati keluarga ramah yang kaki dan tangannya kotor itu. Tanpa bermaksud mengganggu, kucoba untuk berdialog lebih banyak dengan mereka:

“Sudah berapa bulan usia Pari ini Pak?”  Kataku dengan bahasa Jawa, sambil tetap meminta Pak Tani melanjutkan pekerjaannya.                         

Sambil tertawa  dia menjawab “Tiga bulan nak, sampeyan dari mana? Mari duduk disitu, kita sama-sama sarapan” Sambil menunjuk sebuah pelataran kecil yang sudah tersedia beberapa rantang, piring, kendi dan wakul tempat nasi. Hidangan sederhana yang memang sengaja disediakan untuk sarapan Keluarga Tani itu.

 Aku sempat bingung dengan keramahan keluarga ini, tanpa perlu tahu siapa aku, dari mana asalku, mau kemana aku, tanpa ragu-ragu mengajak aku makan bersama jatah sarapan mereka pagi ini. Desa ternyata masih menyimpan manusia-manusia berhati bersih dan mulia.

Senin, 20 Februari 2012

Pengamen Bus


Bus yang kutunggu tunggu akhirnya datang juga, tanpa berhenti sama sekali, Bus itu menurunkan dan menaikkan penumpang. Aku meloncat naik sebelum Bus ke arah Malang itu melaju lebih cepat. Tempat dimana aku meloncat ke Bus itu memang bukan Halte, dan memang tidak ada Halte disana, jadi Bus bisa menurunkan dan menaikkan penumpang se enaknya. Kejadian seperti ini adalah biasa, karena Bus ini tak mau di dahului oleh Bus yang di belakang, Time is money.

 Sopir Bus memandang kedepan dengan tenang sambil menghisap rokok, seakan tak tahu ada penumpang yang turun dan naik, sekali-kali melihat kaca spion diatas, untuk memastikan Bus yang dibelakang masih jauh. Penumpang sudah penuh sesak, jadi aku tak bisa masuk lebih dalam, jangankan duduk berdiri-pun aku sulit. Terpaksa aku berdekat-dekatan dan berhimpit-himpitan bersama penumpang lain dengan mesrah. Asap knalpot yang masuk kedalam Bus menambah semarak suasana.

Tak lama kemudian hujan datang dengan deras mengguyur jalan, memaksa kenek menutup cendela dan pintu Bus, menghindari penumpang basah terkena air hujan. Kondektur meliuk-liukan badannya melewati sela-sela sempit penumpang, berhenti menarik karcis penumpang yang baru naik. Udara dalam bus sudah mulai pengap, tapi sebagian besar penumpang masih asyik merokok, dengan bibir yang dikuncupkan keatas meniup asap rokok. Atap Bus penuh asap rokok mirip langit yang ber awan.

Posisiku berdiri menghadap kebelakang, tidak memungkinkan aku menghadap kedepan karena dibelakangku ada ibu hamil tua yang juga terpaksa menghadap kebelakang. Sedang didepanku bapak tua yang tinggi kurus dan keriput, wajahnya lurus menghadap ke aku karena sudah tak bisa lagi menoleh ketempat lain. Saking dekatnya sampai-sampai aku bisa menghitung jumlah bulu hidung yang menjulur keluar dikedua lobang hidungnya. Tiga dilobang kanan,dua dilobang kiri. Dia tersenyum setiap matanya bertemu mataku, sambil selalu bertanya “Mau kemana?”

Suasana menegangkan ini sedikit terpecahkan dengan kehadiran Pengamen Bus, yang akhirnya bisa menyanyi ketika beberapa penumpang turun bersamaan. Hujan agak reda ketika Pengamen Bus mulai memetik gitar. Mereka bertiga mulai bernyanyi disaat posisi berdiri sudah bisa dilihat dan didengar oleh semua penumpang. Biasanya beberapa Pengamen Bus sudah cukup bagus dalam menyanyikan lagu, aku berharap kali ini mereka bisa benar-benar menghibur. Dari cara mereka saling memandang dan tertawa satu sama lain membenarkan dugaanku, ternyata benar mereka bukan penyanyi berbakat.

Pilihan lagu dan suara serta cara memainkan gitar, juga entah senar gitar apa yang dipakai, kembali memekakkan telinga, mengaburkan pandangan dan mengingatkan aku lagi pada lobang hidung pak tua tadi. Suasana menjadi lebih tidak enak ketimbang pengapnya Bus tadi dengan semua cendela ditutup karena hujan. Tak jelas buat telingaku, lagu itu seperti irama keroncong, tapi berbau rock, tapi kok ada tabuhannya, tapi kok serak, tapi kok….. pokoknya tidak enak!!!  Untung mereka segera mengakhiri album Lagu-lagu Bingung itu.

Dengan mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas segala perhatian semua penumpang, salah satu dari mereka mengeluarkan kantong untuk menagih kesemua penumpang satu persatu sebagai ganti kenikmatan dan hiburan yang mereka ciptakan.
 
Aku sedikit loncat kegirangan ketika turun dari Bus di terminal Malang, waktu yang hanya setengah jam itu rasanya seperti dua hari. Tapi ini pengalaman berharga buatku, aku harus hati-hati dan harus pula pilih-pilh jika naik Bus.