Sabtu, 18 Februari 2012

Ibu


Jumat pagi yang cerah aku duduk menghadap pusara Ibuku, ditengah sebuah pemakaman umum. Ku lantunkan bacaan beberapa Surah Kitab Suci beserta doa-doa. Angin dingin bertiup menggerakan daun-daun pohon Bambu dan Kamboja menimbulkan bunyi mendesir menambah sunyi dan khidmat suasana makam. Baru aku sadar pagi ini ternyata aku sendirian ditengah-tengah kuburan.

Kupandang pusara Ibuku, kucoba membersihkan gundukan tanah dari rumput-rumput liar dan sisa kembang yang sudah kering lalu kuganti dengan kembang-kembang baru yang masih segar dan wangi, yang sengaja aku bawa dari rumah. Kubayangkan aku sedang membersihkan kaki Ibuku yang putih dan sudah bersih, sambil tiduran kupijit-pijit kakinya untuk menghilangkan rasa penat setelah seharian bekerja mengurus rumah tangga. Ku tarik-tarik jari kakinya dengan lembut sampai  bunyi “cletak,” kulihat wajahnya manggut-manggut dan tersenyum lega pada setiap bunyi jari kakinya sambil matanya tetap tertutup.

Pandangan mata nya tenang dan lembut tapi tajam penuh arti, seakan setiap tatapannya merupakan nasehat yang panjang dan lebar. Aku senang pada setiap tatapan nya, membuatku merasa tetap di manja walau aku sudah tidak lucu lagi. Setiap berangkat sekolah pandangan matanya didepan pintu tak berhenti selalu mengiringi aku sampai belokan jalan, seakan ingin memeriksa kembali apakah makanan dan uang saku sudah lengkap.

Aku dan semua saudara-saudaraku masing-masing merasa lebih disayang oleh Ibu dari pada yang lain. Hampir aku tak bisa membedakan antara marah dan senangnya. Semua sikapnya membuat aku senang. Bentuk kekecewaannya pada suatu kesalahanku dia tunjukan dengan senyum lebar sambil menggeleng-gelengkan kepala, lalu kemudian biasanya Dia segera membuatkan aku masakan kesukaanku, lalu aku jadi sangat menyesali berbuatanku, setiap sendok makanan yang kutelan bagai rotan yang  menyambuk paha dan punggungku.

Kini ketika aku sudah mandiri, aku ingin membahagiakan-nya. Aku ingin selalu menunjukan sikap nurut padanya. Aku ingin memijit-mijit kaki Nya, dan membunyikan lagi “cletak, cletak.”  Aku berjanji tidak akan mengecewakan Dia lagi, walau masih ingin merasakan masakan buatan-nya khusus untukku. “Datanglah Bu? Sekali saja, hari ini saja, pagi ini. Senyumlah lagi padaku, atau marahlah padaku.”

Tapi terlambat. Aku sudah tidak bisa melihat lagi Dia tersenyum, tidak bisa lagi melihat walau Cuma bayang-bayangnya. Kenangan dan foto-foto Mu tidak bisa menggantikan sikap Mu yang sebenarnya.
 
Walau aku sekarang ini sangat dekat dengan-Nya, tapi Dia didalam sini, didalam gundukan tanah ini, tidur disana. Sendirian.

1 komentar:

  1. Jasa ibu tidak bisa dibalas oleh seorang anak walaupun ia mengerahkan semua tenaganya,bahkan kita tidak bisa membalas satu jerit tangisan ibu pada waktu melahirkan kita, sebuah karya yg membuat hati kita terharu,good words,terus berkarya bung....

    BalasHapus