Sabtu, 05 Oktober 2013

Belajar dari Perubahan Masa



Pagi ini seperti biasa tak ada pekerjaan khusus yang aku kerjakan. Cuaca  cukup sejuk, tidak seperti beberapa hari yang lalu, mungkin karena langit selalu mendung disertai hujan yang berhenti sebentar lalu hujan lagi. Sering kali hujan lebat beberapa jam lalu berhenti, kemudian di sambung dengan hujan rintik-rintik sampai hampir setengah hari. Cuaca yang begini ini biasanya di ikuti dengan udara yang sangat dingin sampai beberapa hari.

Suara “Gareng” (Tonggeret) sudah mulai terdengar nyaring dimana-mana. Biasanya ini adalah pertanda Musim Hujan akan segera lewat, dan berganti dengan Musim Kemarau. Selain itu semua memang sepertinya mulai terasa suasana musim kemarau sudah tidak lama lagi, walau hujan lebat masih sering datang. Masyarakat di sekitarku sepertinya sudah merasakan cukup puas dengan musim hujuan kali ini.

Musim nampaknya sudah mulai membuka lembaran baru. Tak terasa musim hujan yang tadinya di tunggu-tunggu kedatangannya, sekarang sudah mau pergi lagi. Begitu juga nanti dengan musim kemarau, yang saat ini sedang di nantikan kedatangannya, tak lama lagi akan segera pergi juga. Waktu bergerak dengan sangat cepat, seakan musim berganti seperti secepat membuka lembaran buku.

Begitu juga dengan yang lainnya. Yang lalu aku menghadiri acara pertemuan wali murid di sekolahan SMP putraku. Acara penerimaan Raport dan Ijazah, yang selama acara aku hanya bisa merenung, betapa cepatnya waktu ini. Aku baru sadar ketika sudah di tengah perjalanan pulang, yang berarti aku sudah tidak akan kembali lagi ke sekolahan itu. Padahal masih jelas di ingatanku, seakan baru minggu lalu, ketika aku menghadiri pertemuan di sekolahan itu juga, pertemuan wali murid yang anaknya berhasil di terima sebagai siswa SMP tersebut. Itu terjadi Tiga tahun lalu.

Putriku yang paling besar, aku sempat kaget ketika dia tanya kapan bisa punya KTP. Katanya ada urusan yang harus di lengkapi dengan KTP. Ternyata dia sudah berusia Delapan Belas Tahun. Usia berlomba lari cepat dengan waktu, tanpa menunggu aku sempat menghitung hari-hari. Mungkin aku terlalu banyak melihat langit yang tidak pernah berubah.

Lalu bagaimana dengan aku sendiri? Nampaknya tidak ada perubahan yang mencolok padaku. Aku merasakan keadaanku tidak beda dengan entah berapa tahun yang lalu. Malah aku lebih merasakan keadaanku selalu mengarah kebawah atau menurun. Baik itu fisik jasmaniku atau pikiran rohaniku. Keduanya aku rasakan sudah tidak bisa seperti dulu lagi. Aku merasa kedatangan tamu yang namanya “Tua.”

Secara fisik aku bisa dengan jelas merasakan, menurunnya kekuatan tubuhku. Latihan Futsal misalnya, yang biasa aku adakan bersama teman-teman, kali ini sudah harus berpikir panjang terlebih dahulu jika akan memutuskan untuk memulai latihan lagi. Aku sudah tidak berani lagi untuk bermain dengan semangat seperti dulu. Walau aku tidak merasakan apa-apa, tapi aku tidak akan mengambil resiko dengan jantungku, yang aku punya hanya satu biji ini.

Walaupun aku harus tetap melakukan olah raga demi kesehatan, tapi aku harus pandai memilih olah raga apa yang pantas buatku. Aku harus mulai melirik jenis olah raga yang biasa di pakai oleh para usia menengah ke atas. Olah raga yang tidak memacu detak jantung yang keras, yaitu seperti jalan-jalan pagi, dengan langkah yang lebih cepat agar bisa keluar keringat.

Begitu juga dengan kemampuanku untuk menanggung beban pikiran. Kepalaku sudah tidak sekuat dulu untuk menerima beban-beban yang berat. Pekerjaan yang beresiko tinggi cepat-cepat aku hindari. Tanggungan yang belum selesai aku kerjakan, sudah sangat mengganggu ketenanganku bahkan tidurku. Semasa muda pekerjaan dengan tanggungan apapun tidak masalah bagiku. Tapi kini sudah berpengaruh kepada rasa makanan yang aku telan.

Untuk urusan makanan dan minuman, aku sudah harus memilih-milih. Sebenarnya dalam hal selera, aku ini termasuk orang yang suka makan, walau tidak dalam takaran jumlah banyak. Hampir semua makanan dan minuman  yang halal aku suka. Baik itu makanan yang berlemak atau sayur-sayuran, juga minuman yang manis atau yang banyak mengandung protein. Tapi sekarang selain menghindari makanan dan minuman yang terlalu manis dan berlemak, juga mengurangi kadar kwantitasnya.

Walau di lihat secara jasmani dan rohani, aku sudah banyak mengalami penurunan. Tetapi semangat harus tetap semakin meningkat. Karena aku rasa yang namanya Semangat  itu berada pada posisi yang berbeda. Menurunnya kekuatan tubuh tidak harus berbanding lurus dengan menurunnya semangat hidup. Bagiku tidak mengambil resiko dalam pekerjaan yang berat, bukan berarti menurunnya semangat hidup.

Ada hal-hal lain yang semakin memicu semangat hidup. Misalnya bagaimana kita bisa mendorong anak-anak untuk bersemangat dalam bekerja, jika kita sendiri mulai kelihatan tidak semangat. Kita tidak bisa berpura-pura semangat di hadapan anak-anak. Semangat yang di maksud adalah semangat yang sesuai dengan kemampuan kita. Kemajuan perkembangan prestasi anak-anak kita, dalam urusan pendidikan, itu saja sudah menambah semangat kita sebagai orang tua.
Aku merasakan sekali adanya perubahan waktu berpengaruh pada cara berpikirku. Cara berpikir masa sekarang lebih banyak pertimbangannya, untuk memutuskan sesuatu selalu di pikir-pikir ulang sampai matang. Beda dengan sewaktu masih muda, melakukan keputusan sesuatu dulu baru kemudian di pikir. Pada masa muda resiko apapun aku masih sanggup menanggungnya, beda dengan masa senja sekarang ini.

Sewaktu sekolah di SMA atau beberapa tahun setelah lulus sekolah, aku selalu bercanda dengan teman-teman dengan cara saling pukul-pukulan, rangkul-rangkulan, dan yang lainnya sejenis itu.Yang lucu ketika ada acara pertemuan reuni, atau ada masa-masa liburan seperti hari Lebaran, atau yang lainnya, dimana ada kesempatan untuk bertemu dengan teman-teman sekolah. 

Maksudnya ingin bercanda seperti waktu masih di sekolah. Tapi tentu saja sudah tidak lucu lagi. Jadi bercanda kali ini hanya sebatas senda gurau dimulut saja. Tanpa mencoba untuk ikut menggerakkan badan atau anggota tubuh yang lain.
Memang kalau di pikir-pikir kejam sekali kehidupan ini. Apa yang sangat kita cintai harus di relakan untuk berpisah. Apa yang sangat kita benci harus juga kita terima dengan ikhlas. Untungnya semua yang kita alami ini tidak berlangsung secara cepat dalam artian mendadak, tapi bertahap sedikit demi sedikit, walaupun akhirnya kita merasakan seakan-akan cepat sekali. Mungkin lebih jelasnya, Walaupun kita merasakan kehilangan dengan cepat, tapi itupun melalui selang waktu beberapa tahun.

Tak ada senjata yang sanggup menahan beban ini semua kecuali Kesabaran  dan Keihlasan, menerima apapun yang telah di tentukan oleh Allah SWT. Jika kita menganggap semua masalah itu besar, tentu kita akan mendapatkan Tuhan yang kecil. Jika menyakini Allah itu Maha Besar, tentu kita akan bisa menganggap semua masalah itu adalah kecil.
 
Hidup adalah kepastian, senjata adalah pilihan. Didunia ini adalah bukan tempatnya kenikmatan. Jadi janganlah sekali-kali mencoba menemukan kenikmatan di dunia ini. Allah telah menyediakan kenikmatan bukan di dunia, tapi di Sorga, maka sangat salah jika di dunia saja mencari kenikmatan, tapi mengabaikan kenikmatan sejati di Akhirat. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar