Pagi hari ini aku kebetulan berdiri di
dekat sungai, yang sangat aku kenal, dekat dengan rumah orang tuaku. Aku
perhatikan dengan seksama bentuk dan suasana sungai itu. Air sungai yang
bening, kecil dan sempit tapi cukup deras itu mengingatkan aku pada masa
kecilku. Waktu itu sungai itu terasa lebar dan dalam serta deras sekali. Hampir
setiap hari aku selalu mandi dan bermain di sungai itu. Sungai itu menyimpan
banyak kisah kenangan masa kecilku.
Kulihat kearah atas asal aliran sungai,
lalu kuarahkan pandanganku ke arah sejauh air mengalir. Tiba-tiba pikiranku
melayang-layang memutar kembali kejadian-kejadian yang aku alami pada masa
kecilku, pada masa aku sering mandi dan bermain di sungai ini. Masa yang paling
indah selama kurun waktu yang aku alami dalam
hidupku.
Aku tertegun sejenak, terpengaruh oleh
kenangan yang muncul, ketika aku perhatikan aliran sungai bening ini. Betapa
bahagianya aku waktu itu. Betapa jernih pikiranku waktu itu, sejernih sungai
ini. Sungai ini adalah saksi bisu, kebahagiaanku waktu itu. Sungai ini seakan
menyapaku dengan salam hangat, salam rindu. Tak tahan dengan kenangan masa
lalu, akhirnya aku turun mendekati aliran sungai itu, dan mencelupkan kaki dan
tanganku sebagai ucapan salam jabat tangan.
Kulihat sekeliling sungai itu, maka
pikiranku semakin melayang-layang jauh kemana-mana. Mengingatkan aku pada
tempat lain di sekitar sungai ini, yang juga sebagai bagian dari tempatku
bermain waktu itu. Aku menganggap lereng-lereng, derasnya aliran sungai,
pohon-pohon yang tinggi dan goa-goa dibawah bukit sebagai arena tempatku
bermain. Bahaya adalah permainan yang paling aku sukai, tak ada hari yang aku
jalani tanpa bahaya.
Duniaku adalah sesempit aliran sungai
itu, jangkauan pikiranku setinggi pohon kelapa itu dan masa depanku adalah
ujung goa dangkal itu. Aku tak pernah berpikir lebih jauh dari tempatku
bermain. Aku tak pernah ingin menjangkau angan-angan diatas ujung daun pohon
kelapa itu. Aku tak ingin mengetahui ada apa di balik dinding ujung goa kecil
itu, walau itu adalah masa depanku kelak. Yang aku inginkan adalah ketetapan
masa kecilku waktu itu. Aku tak ingin kebahagiaanku waktu itu berganti dengan
yang lain. Apapun itu.
Perjuanganku adalah mencebur kedalam
aliran sungai kecil yang deras ini. Kemudian hanyut beberapa meter, lalu naik
ke daratan berlari ke atas, dan mencebur lagi untuk hanyut lagi terbawa arus
sungai, begitu seterusnya sampai aku bosan. Semakin banyak aku mengulangi
mencebur ke sungai, maka semakin besar kebanggaanku. Aku berhenti untuk
mencebur lagi, ketika aku sudah merasa hitungan mencebur ke sungai untuk hari
ini lebih banyak dari kemarin.
Kadang aku menganggap guruku adalah
bukit kecil itu, dan selalu juga menganggap dia adalah muridku. Setiap
menjelang sore, aku duduk di bawah mendengarkan wejangan dan nasehat dari bukit
itu, lalu aku naik keatas bukit untuk menginjak-injak kepalanya sambil memberi
wejangan dan pelajaran, aku mengatakan bahwa aku lebih baik dari bukit itu.
Besoknya aku duduk di bawah lagi mendengarkan wejangan, dan kemudian naik lagi.
Untuk pelajaran Spiritual aku selalu berada di bukit itu, siang aku
menerima pelajaran, dan sorenya aku memberi pelajaran.
Aku menganggap pohon kelapa itu adalah
kakekku. Ketika berada di bawah, aku menghayal berjalan-jalan di taman sambil
di tuntun oleh kakekku. Kalau aku sedang di atas, maka aku menganggap seperti
di gendong di punggung kakekku. Tanpa berjalan aku sudah bisa melihat sekitar
kebun itu dalam jarak yang cukup jauh. Aku tak merasakan adanya perbedaan
antara di atas dan di bawah pohon kelapa. Bedanya hanya pada rasa, yaitu di
atas lebih enak dari pada di bawah.
Lubang goa kecil itu adalah merupakan
rumah masa depanku. Aku yang merencanakan, mendisain, menghiasi dan mengerjakan
pembangunan rumah masa depanku. Aku bangga sekali dengan rumah hasil jerih
payahku ini. Ketika aku terangi ruangan dalam goa dengan obor dari pelepah daun
Pepaya yang di beri Minyak Tanah. Aku merasa harus letih bagai seorang Ayah
yang pulang ke rumah, setelah bekerja di
kantor pemerintah, dan ingin tidur di kamar, di lekukan ruang dalam goa, yang
ku anggap kamar pribadiku. Setelah itu aku tak ingin yang lain lagi. Mungkin
siang itu, di goa itu aku ingin pensiun.
Setiap pagi setelah sarapan aku langsung
mendengar suara Bukit, Pohon dan Goa serta Sungai memanggil-manggil namaku.
Mereka selalu mengingatkan aku bila tiba waktu untuk berkunjung. Dan mereka
dengan berat hati mengijin aku untuk pulang karena hari mulai senja.
Aku tak tahu berapa lama aku bermain dengan mereka. Dan aku juga tak tahu sejak kapan aku berhenti bermain dengan mereka. Waktu lewat tanpa memberi kesempatan bagiku untuk mengucapkan salam dan berpamitan untuk berganti dengan permainan lain yang sesuai denga usiaku. Rupanya waktu tahu dan takut mereka tidak akan memberi aku ijin untuk mengganti dengan permainan atau teman yang lainnya. Aku dan mereka sudah saling sangat mencintai.
Siang ini aku berada di tempat ini,
tempat sahabatku dulu, Sungai bening ini, Pohon Kelapa yang sudah mati tumbang,
dan Bukit serta Goa. Mereka sudah tidak mengenal aku lagi, dan aku juga sudah
tidak mengenal mereka lagi. Walau aku tidak terlalu rindu pada mereka, tapi aku
masih ingat dengan masa-masa bahagia bersama mereka. Apakah mereka sedih dengan
perpisahan waktu itu? Apakah Pohon Kelapa yang sudah tak ada itu, mati karena
tak kuasa menahan sedih? Apakah Bukit itu yang sekarang menjadi gondrong
tertimbun oleh lebatnya semak belukar, tidak bisa merawat diri karena sedih
juga dengan perpisahan itu? Dan Apakah Goa rumah masa depanku, yang sekarang
hilang tertimbun sampah rumput liar dan
ilalang, juga sakit hati kepadaku? Entahlah mungkin hanya sungai ini
yang bisa menjawab semua pertanyaan itu.
Karena tak mampu menjawab,akhirnya aku
berdiri mencoba untuk berpamitan dengan semua sahabatku ini, sebagai ganti
pamitan yang tidak aku lakukan dulu. Lalu aku pergi setelah mencelupkan lagi
kaki dan tanganku ke sungai sebagai salam jabat tangan perpisahan. Sampai Jumpa
lagi.
HI GUYS.......
BalasHapusYOU NEED MONEY OR NOT.
CHECK THIS OUT AND YOU’LL REGRETED
HERE